Senin, 29 Februari 2016

Struktur Teorema

STRUKTUR TEOREMA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Matematika Model Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A





Disusun oleh:
Diana Amirotuz Zuraida (15709251066) (dianaamirotuz.blogspot.com)





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016


STRUKTUR TEOREMA
Salah satu cabang dalam filsafat adalah logika. Logika mewakili pemikiran seseorang dalam berfilsafat dan berpendapat mengenai pemikiran – pemikiran berupa hipotesis atau tanggapan tentang suatu peristiwa maupun kejadian. Awal pemikiran pada matematika yaitu berhubungan dengan logika, buktinya banyak tokoh – tokoh dalam filsafat juga memberikan pemikirannya dalam bidang matematika. Sebenarnya bangsa Babilonia sudah ada ilmu tentang perhitungan, namun semua itu hanya berdasarkan pemikiran empiris. Ketika Yunani berkembang, mereka banyak memberikan kontribusi berupa pemikiran deduktif dan fenomena alam dalam bentuk bilangan. Sehingga pada abad ke – 19 dan 20, banyak perkembangan tentang teknologi serta sains dan matematika walaupun sebenarnya sudah diawali dari abad ke – 17, yang mana saat itu didominasi oleh aturan gereja. Adanya aturan gereja tersebut, menimbulkan para ahli filsafat bermunculan bersamaan dengan pemikiran matematis seperti Immanuel Kant, Galileo, serta Rene Descartes yang menentang aturan gereja tersebut.
Logika didefinisikan sebagai kosa kata, yang membentuk aturan yang mana memberikan ide barisan simbol dalam logika dan logika juga didefinisikan sebagai pembuktian dalam sistem (kondisi dalam menggunakan rumus dalam pembuktian). Definisi dalam pembuktian sudah ada bermacam macam bentuk dan gayanya. Pemikiran logika yang paling umum yaitu model yang diajukan oleh Hilbert yang disebut dengan aksioma.
Aksioma berasal dari bahasa Yunani αξιωμα (axioma) yang artinya dianggap berharga, dengan kata lain dianggap terbukti dengan sendirinya. Banyak filsuf Yunani menganggap aksioma adalah pernyataan yang sudah dapat dilihat kebenarannya tanpa harus dibuktikan. Aksioma dalam matematika bukan berarti proposisi yang terbukti dengan sendirinya. Melainkan, suatu titik awal dari sistem logika. Misalnya, nama lain dari aksioma adalah postulat.
Sistem dalam matematika diawali dengan aksioma yang memuat beberapa syarat yang diberlakukan mulai abad ke – 19 seperti konsistensi, independensi, dan kategoris. Aksioma dikatakan konsisten bila tidak adanya logika yang kontradiksi di dalamnya, independensi jika proporsi tidak dapat dideduksi dari proporsi lainnya. Serta dikatakan kategoris jika berisomorfisma dengan himpunan yang disajikan secara aktual dari perangkat aksioma.
Setelah aksioma terbentuk, pernyataan yang muncul selanjutnya disebut dengan teorema. Teorema secara formal disebut juga pernyataan. Pernyataan sebagai asumsi dan dibuktikan dengan pernyataan – pernyataan sebelumnya yang telah disetujui sebagai dasarnya (aksioma, definisi, dan teorema sebelumnya yang telah dibuktikan. Nilai kebenaran dalam matematika bersifat apriori, teori – teori dalam matematika diturunkan secara logis (logika yag telah ditetapkan sebelumnya) dari aksioma, sehingga digunakan secara kondisional sesuai dengan ruang dan waktunya.
Teorema berawal dari pernyataan yang ada pada zaman Yunani Kuno periode sekitar 600 SM hingga 300 SM, para pengikut pythagoras berusaha menemukan panjang sisi miring suatu segitiga dan akhirnya menemukan bahwa panjang sisi miring sebuah segitiga itu merupakan bilangan irrasional. Pada periode ini pula, bangsa Yunani Kuno telah menyusun geometri aksiomatis karya Euclid yang isinya masih digunakan hingga saat ini. Buku yang telah disusun bermacam macam seperti sifat lingkaran, garis, bangun segi empat, dan ada juga yang berkaitan dengan teorema pythagoras sehingga dapat dipahami prosesnya dari abad – abad sebelumnya.
Pada awal abad ke – 20, matematikawan bernama David Hilbert (1862- 1943) merumuskan sistem formal dari aksioma harus konsisten, artinya pernyataan dan kebalikannya tidak dapat dibuktikan secara bersamaan. Namun, pada tahun 1930, Kurt Godel (1906-1978) mengatakan bahwa apapun sistem aksioma atau aturannya, akan selalu ada beberapa pernyataan yang dapat tidak terbukti atau tidak valid dari sistem. Bunyi dari teorema Godel yang pertama yaitu “Jika suatu sistem matematika dikehendaki konsisten, maka dia pastilah tidak lengkap” dan teorema kedua Godel berbunyi “Jika suatu sistem dikehendaki lengkap, maka dia pastilah tidak konsisten”. Chaitin juga membuktikan bahwa prosedur tidak akan menghasilkan hasil yang lebih kompleks daripada prosedur itu sendiri sehingga dia membuat teori bahwa wanita yang berbobot 1 pon tidak bisa melahirkan bayi seberat 10 pon. Hal tersebut juga membuktikan bahwa akan ada pemikiran yang kompleks dalam keadaan akal kita tidak bisa memahaminya. Godel menunjukkan bahwa tidak ada sistem jenis Hilbert yang mana bilangan bulat bisa didefinisikan konsisten serta lengkap. Pada disertasi Godel membuktikan kelengkapan orde pertama, bukti ini dikenal sebagai teorema kelengkapan Godel. Belliau juga membuktikan bahwa Hilbert dianggap benar karena asumsinya matematika adalah bagian dari kehidupan nyata. Dengan menggunakan teori bilangan sebagai contoh yang konkrit kemudian menunjukkan cara untuk mengubahnya ke dalam simbol yang mana semestanya mengenai bilangan.
Sampai pada saat itu, Hempel berpendapat bahwa setiap sistem postulat matematika yang konsisten, menunjukkan interprestasi yang berbeda dari istilahnya. Definisi juga termasuk di dalam sistem aksioma tersebut. Beliau juga mengatakan bahwa upaya untuk menyempurnakan model yaitu mengubah definisinya sehingga muncul model yang baru lagi dengan teori yang tetap stabil. Kesimpulan dari Hempel ini, teorema dari teori apapun terdiri dari dua bagian, premis dan kesimpulan. Kesimpulan dari teorema tidak hanya dari himpunan aksioma tetapi juga premis yang khusus untuk teorema tertentu dan bukan perpanjangan dari sistemnya.
Paradigma matematika saat ini didasarkan pada teori himpunan aksiomatik dan logika formal. Seluruh teorema pada saat ini dapat dirumuskan sebagai teorema teori himpunan. Setelah teorema ada, maka ada istilah lanjutan yang disebut dengan lemma, lemma secara konvensional digunakan untuk menunjukkan proposisi terbukti yang digunakan sebagai batu loncatan untuk hasil yang lebih besar daripada sebagai pernyataan yang berguna lebih dalam dan teorema itu sendiri. Strukturnya dapat digambarkan sebagai berikut.



Jadi, untuk membuktikan suatu teorema, kita membutuhkan aksioma atau postulat yang berhubungan atau yang membentuk ke arah konteks teorema yang akan dibuktikan. Urutan proses adanya teorema digambarkan sebagai berikut.







Berbeda lagi dengan kebenaran tentang objek yang ditemukan oleh manusia hukum alam dan hukum matematika memiliki status yang sama. Dalam kehidupan kita, tidaklah lepas dengan mitos. Mitos dalam bahasa Yunani: μῦθος— mythos atau mite (bahasa Belanda: mythe) adalah cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam pengertian yang lebih luas, mitos dapat mengacu kepada cerita tradisional. Pada umumnya mitos menceritakan terjadinya alam semesta, dunia dan para makhluk penghuninya, bentuk topografi, kisah para makhluk supranatural, dan sebagainya.
Ada yang menganggap mitos itu benar terjadi, adapula yang tidak mempercayai mitos tersebut. Biasanya, mitos itu perlu dibuktikan kebenarannya ketika mencoba untuk melakukannya. Jika sesuatu terjadi, maka anggapan itu dianggap benar, namun jika tidak terjadi sesuatu apapun maka anggapan itu dianggap tidak benar. Mitos bisa dianggap sebagai teorema, sehingga terkadang perlu pembuktian agar seseorang percaya bahwa fenomena itu benar – benar terjadi. Teorema berisi premis khusus dengan contoh misalkan, tidak diperbolehkan menggunakan pakaian berwarna hijau atau biru ketika ada di tepi pantai karena orang yang berpakaian tersebut bisa hilang terbawa ombak. Itu adalah suatu teorema yang belum tentu kebenarannya. Namun, dalam kehidupan kita, ada postulat yang mutlak yaitu perintah dari Tuhan. Perintah dari Tuhan itu benar adanya.

Teorema dalam matematika yang paling sering digunakan adalah teorema pythagoras. Teorema ini bermanfaat dalam kehidupan sehari – hari, seperti menghitung tinggi kemiringan tangga yang akan digunakan agar orang yang naik tidak terjatuh. Tinggi sebuah jendela lantai 2 pada sebuah gedung kira-kira 8 meter. Di depan gedung tersebut ada sebuah taman dengan lebar 6 m. Berapa panjang tangga minimum yang dibutuhkan agar kaki-kaki tangga tidak merusak taman. Ilustrasi sebagai berikut.


Jika panjang tangga dianggap sebagai x maka:


Maka panjang tangga minimum adalah 10 m. Contoh lain juga berupa ornamen dari seorang arsitektur dari Iran yang sudah membuktikan teorema pythagoras dengan teknik arsitekturnya pada abad ke 10 yaitu membuat ornamen pada bangunan seperti gambar di bawah ini.

Para arsitektur mengeksplor teorema pythagoras tersebut menjadi lebih menarik untuk ornamen seperti di bawah ini.


DAFTAR PUSTAKA Nielsen, J.L.(2010). The Heart is a Dust Board: Abu’l Wafa Al-Buzjani, Dissection, Construction, and theDialog Between Art and Mathematics in Medieval Islamic Culture. University of Missouri: Arkansas city. http://www.sfu.ca/~jeffpell/papers/PhilAutoThmProving91.pdf https://m.facebook.com/notes/dunia-matematika/sejarah-perkembangan-matematika/217020314975045/ https://en.wikipedia.org/wiki/Fundamental_theorem https://id.wikipedia.org/wiki/Mitos gehamatic.weebly.com/uploads/2/5/3/5/.../teorema_pythagoras.docx http://novi-ariyaniasparagus.blogspot.co.id/2013/01/postulat-dalil-aksiomal-dan-lain-lain.html Marsigit, Rizkianto. I, Murdiyani, N.M.(2014). Filsafat Matematika. Universitas Negeri Yogyakarta: UNY Press http://sahatfp.blogspot.co.id/2013/03/tugas-2pengertian-aksioma-dan-teorema.html https://id.wikipedia.org/wiki/Teorema

Senin, 22 Februari 2016

Menyingkap Bukti Teorema Pythagoras Secara Geometri Pada Abad Ke 10 Oleh Abul Wafa Buzjani

Menyingkap Bukti Teorema Pythagoras Secara Geometri Pada Abad ke – 10 oleh Abu’l Wafa Buzjani


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Matematika Model Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A


Disusun oleh:


Diana Amirotuz Zuraida (15709251066) (dianaamirotuz.blogspot.com)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016



Teorema pythagoras telah diketahui lebih lama oleh orang – orang Babylonia. Pengetahuan tentang pythagoras ini berhubungan dengan geometri Euclid. Seperti yang kita ketahui, rumus pada pythagoras ini yaitu:
c adalah sisi miring atau yang biasa disebut dengan hipotenusa, a dan b adalah sisi lainnya dari segitiga. Pada saat itu, pernyataan itu diragukan oleh banyak pihak, sehingga penemuan yang berhubungan dengan pembuktian pythagoras menarik untuk diteliti. Sekitar abad ke – 10, seorang astronot, matematikawan, serta arsitektur yang berasal dari Iran bernama Abul Wafa Buzjani (940-988). Beliau lahir pada tahun 940 di Khorasan, Iran. Beliau diberi gelar “mohandes” geometri, artinya orang yang ahli di bidang geometri. Salah satu matematikawan islam pada abad ke 10. Pada awalnya, trik dengan segitiga dibuat oleh beliau. Abul Wafa menggunakan tiga buah segitiga yang identik, kemudian ada segitiga yang paling besar, sehingga segitiga tersebut menjadi 4 buah seperti yang digambarkan berikut.
Gambar 1 Langkah selanjutnya, buat garis segitiga sehingga menggabungkan ketiga segitga tersebut seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2 Setelah dibuat garis,
Gambar 3 Kemudian dengan menggunakan trik, ketiga segitiga tersebut identik maka potongan sebagian segitiga tersebut menjadi seperti di bawah ini, kemudian diletakkan pada area yang dilukis garis segitiga besar sebelumnya.
Gambar 4 Hasil dari segitiga yang telah dibagi menjadi seperti berikut. Jadilah segitiga besar (gambar sebelah kanan) merupakan penyelesaian Buzjani.
Gambar 5
Gambar 6 Segitiga tersebut berdasarkan teori geometri pada sudut yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar 7 Pembuktian Abul Wafa berawal dari seorang arsitek yang menggunakan metode memotong dan mengkonstruk kembali bangun persegi dengan tidak benar sehingga konstruksi tampak seperti berikut:
Gambar 8 Kontruksi yang tidak benar dari tiga persegi, asli berasal dari Persia
Gambar 9 Buzjani tidak setuju dengan adanya persegi dalam penyelesaian kontruksi tersebut karena seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas, masih ada sisa bagian dari kontruksi bangun sebelumnya atau bisa disebut lebih besar pada salah satu panjang sisinya. Diagonal pada √2 ≠ 1,5 walaupun √2 = 1,41 ≈ 1,5. Sehingga, kontruksi pada bangun di atas tidak bisa dipahami. Kemudian Buzjani secara matematis memperbaiki kesalahan tersebut dengan metode membagi dan menyusun kembali bangun yang disediakan sebelumnya.
Gambar 10. Penyusunan persegi dari tiga persegi yang sama panjang.
Gambar 11. Penyusunan yang ditunjukkan oleh persegi, asli dari Persia. Jika kita ingin menyusun persegi dari tiga buah persegi yang sama, maka pertama bagi persegi sesuai dengan salah satu diagonal sehingga ditunjukkan dengan sisi AG dan EH. Kemudian, menggabungkan antara segitiga dengan sisi BZ, ZW, WD, DB. Adapun area yang kosong untuk segitiga sehingga sisa dari bagian persegi akan dipasangkan di area tersebut. Jadi, segitiga BGM sama dengan segitiga MZH, G dan H setengah dari sudut siku – siku (teorema setengah dari sudut siku – siku). Kemudian meletakkan segitiga MZH di segitiga BGM. Dengan cara yang sama, segitiga DGE dipindahkan ke WEK, ABO dengan DIO, begitu juga WHE dengan ZLE sehingga puzzle telah selesai. Abul Wafa menggunakan metode membagi (dissection) dan menyusun (construction) kembali untuk menuliskan lagi tentang pembuktian teorema pythagoras secara geometri. Dua bangun persegi yang tidak sama ditambahkan sehingga ada tiga buah bangun.
Gambar 12
Gambar 13 Gambar 12. Persegi kecil dan bangun persegi besar diletakkan dibagi, kemudian disusun kembali pada persegi yang besar, pembuktian secara geometris dari teorema phytagoras. Gambar 13. Menunjukkan bahwa c adalah hipotenusa dan kaki dari segitiga siku – siku.
Gambar 14. Digambar dengan teks asli Persia. Kombinasi antara dua persegi yang sama panjang sudah ada sejak masa Socrates. Cara Abul Wafa di atas, walaupun kedua persegi berbeda ukuran, beliau menempatkannya sisi persegi besar sehingga segitiga yang besar itu ada setelah adanya pembagian bangun persegi. Persegi kecil hitam adalah a2. Persegi abu – abu yang bertumpukan di belakang persegi hitam kecil adalah b2 (lihat gambar 12). Dan persegi yang lebih besar adalah a2 dan b2 merupakan c2 sehingga menjadi gambar 13. Abul Wafa telah mempelajari berbagai kelipatan dari persegi dan tertarik dengan menumpukkan “persegi yang ukurannya sama pada luas persegi ke n”. Beliau membedakan atas dua kasus, kasus yang pertama, “Jika panjang persegi adalah jumlah dua persegi maka (n=2m2)”. Dan pada kasus yang kedua, jika panjang persegi adalah penjumlahan dari persegi yang tidak sama, maka (n=2ab) yang mana a≠b, a,b ∈ bilangan asli. Pada kasus yang pertama, beliau memotong persegi (2m2) pada diagonal menjadi 4m2 segitiga yang kongruen pada persegi besar memuat persegi m2 pada keduanya. Cara ini digunakan untuk menutup bagian persegi dengan ukuran yang berbeda (seperti teorema pythagoras) sehingga bisa disimpulkan bahwa “dari 2ab tersusun 4 sudut segitiga siku-siku dengan panjang a dan lebar b. Kemudian tumpukan segitiga tersebut mengelilingi persegi yang memuat (a-b)2 pada persegi. Misalkan x adalah sisi dari persegi, maka x2 = (a – b)2 + 2ab = a2 + b2 Pada abad - abad sebelumnya, Euclid sebenarnya juga telah membuktikan teorema pythagoras dengan cara sebagai berikut:
Gambar 15. Pembuktian teorema pythagoras dari Euclid Dengan melihat segitiga siku-siku ABC, dengan C sudut siku-siku. Kemudian menarik garis dari titik C yang sejajar AP atau BQ sehingga memotong AB di D dan PQ di E, maka jika BC = a dan AC = b dapat ditunjukkan bahwa: Luas BDEQ = a2 dan Luas ADEP = b2. Kita dapat menentukan dua “bagian” persegi berbentuk persegipanjang dari hipotenusa, yang masing-masing luasnya sama dengan luas persegi pada sisi-sisi penyiku dari segitiga siku-siku yang diberikan, sehingga: a2 + b2 = luas BDEQ + luas ADEP = luas ABQP = c2 Perbedaan diantara pembuktian Euclid dengan pembuktian Abul Wafa adalah terletak pada langkah – langkahnya, serta prinsip geometri yang digunakan. Euclid menggunakan teorema kesebangunan segitiga sedangkan Abul Wafa menggunakan caranya sebagai seorang arsitektur yaitu dengan “memotong dan menyusunnya kembali”. Setelah adanya pembuktian dari Abul Wafa tersebut, para arsitektur mengembangkan diri dengan metode – metode sebelumnya, sehingga bentuk tersebut digunakan untuk membuat bentuk bentuk ornamen pada bangunan seperti pada gambar di bawah ini.
Gambar 16. Memotong dan menyusun persegi dari 5 buah bangun persegi, memotong dan menyusun dari 13 buah persegi. Dalam waktu yang lama, para arsitektur mengeksplor metode tersebut menjadi lebih menarik untuk ornamen seperti di bawah ini.
Gambar 17. Contoh ornamen dengan memotong dan menyusun persegi dari 13 buah persegi. Daftar Pustaka Nielsen, J.L.(2010). The Heart is a Dust Board: Abu’l Wafa Al-Buzjani, Dissection, Construction, and theDialog Between Art and Mathematics in Medieval Islamic Culture. University of Missouri: Arkansas city. http://kobotis.net/math/MathematicalWorlds/Fall2014/131/Presentations/pdf/MancillasK_p2.pdf http://p4tkmatematika.org/file/ARTIKEL/Artikel%20Matematika/Bukti%20Teo%20Pyth%20Euclid_revisi%20terbaru.pdf Sarhangi,R.(2008). Modules and Modularity in Mosaic Patterns, the Journal of the Symmetrion (Symmetry: Culture and Science), 2-3, Towson University: Towson