Selasa, 03 November 2015

Filsafat Ilmu Pertemuan ke - 6 "Tes Jawab Singkat keempat" dan "Memahami diri kita dalam Filsafat"

Pada hari Rabu tanggal 28 Oktober 2015, seperti biasa kami mengikuti perkuliahan Prof. Marsigit di ruang PPG 1 gedung FMIPA UNY pukul 07.30. Bapak Marsigit memasuki ruangan, kemudian kami diminta untuk bersiap - siap untuk mengikuti tes tanya jawab ke 4. Tes ini seperti biasa, dengan pertanyaan sebanyak 50, kami menjawabnya secara langsung dalam waktu beberapa detik. Kemudian, kami mencocokkan jawaban dengan jawaban bapak Marsigit, sehingga alhamdulillah saya mendapatkan nilai hanya 2. Pertama, kami membahas tentang "Nihilisme" dan "Fallibisme". Nihilisme itu ada atau tidaknya terikat dengan ruang dan waktu. Jika Fallibilisme itu benar adanya (benar pada kenyataannya seperti itu). Kemudian tidak memikirkannya secara mendalam. Filsafat itu intensif dan bersifat radikalisme, memperjuangkan sedalam- dalamnya. Pertanyaannya sepele, materialnya pikiran, pikiran dimaterialkan dalam bentuk alat hitung maupun buku. Pikirannya material berarti dibentuk dalam hukum-hukum yang terjadi. Materialnya formal adalah bentuk wadah. Kemudian formalnya material, adalah (misalnya) batu peresmian. Fallibisme artinya jika menjawab salah tetap bernilai benar. contohnya saja anak kecil jika ditanya rumus matematika ini itu, tetapi anak kecil itu menjawab belum diajari maka jawaban anak kecil itu "benar". Terkait dengan radikalisme, "radik" adalah akar, tidak peduli baik maupun buruk. Metode berfilsafat itu intensif dan ekstensif. Kata yang dimaksud tersebut merupakan cabang dari ilmu - ilmu filsafat tersebut,karena gerak-gerik dan perilakunya sehingga seakan - akan "radikalisme" itu negatif. Itulah yang disebut dengan stigma. Karena itu tergantung siapa yang mengatakannya. Jika mengatakan itu terus menerus berarti terjebak di dalam mitos, maka kita berfilsafat agar kita bisa mengubah "mitos" menjadi "logos". Dan sebenar benar logos tidak dalam keadaan diam. Dan tidak dalam keadaan diam, masih disintesiskan antara tesis dan anti-tesis. Kalau di dalam "zona nyaman" itu namanya tidak berpikir. Namun tidak mungkin bagi manusia itu tidak berpikir setiap harinya, kita selalu menemukan sesuatu yang baru. Karena tiap kali kita melihat matahari, tidak mungkin ada matahari yang kemarin (matahari yang kemarin kan sudah terbenam dan ganti yang baru).

Kemudian ada yang menanyakan, "Sejauh mana bijak diri dengan bijak pemerintahan?", kemudian Bapak menjawabnya, "Bijak diri itu maksudnya adalah sopan santun diri sendiri yang sesuai dengan ruang dan waktu. Contohnya, Saya menggunakan kemeja batik ketika perkuliahan, bukan menggunakan kaos atau sandal jepit, itulah tidak sopan terhadap ruang dan waktu. Maka sebenar- benar bijak adalah pengetahuan itu sendiri. Orang barat menganggap orang bijak itu yang memiliki pengetahuan, semakin ke timur orang bijak itu tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga memiliki hati nurani. Maka sebenar - benarnya bijak menurut orang barat, adalah orang yang berilmu."

"Bagaimana caranya orang yang berilmu berpikir multidimensi dan berpikir dengan bijak?", Beliau menjawab, "Manusia itu suka dan tidak suka menembus ruang dan waktu, tumbuhan, maupun batu pun menembus ruang dan waktu. Semua kata benda saja berawal dengan kata "hari ini, hari esok, dua tahun yang lalu". Kan tidak ada benda yang alergi terhadap ruang dan waktu. Belajar itu mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada, maka setiap yang ada mewakili dunianya. Contohnya, satu kata "ayam", maka bisa dikatakan dunia ayam bahkan bisa membuat buku yang isinya hanya tentang ayam. Setiap kau bisa mengadakan yang mungkin ada, maka bisa meningkatkan satu level dalam dirimu (tergantung keikhlasan)".

Adapun pertanyaan lainnya "Mengapa pikiran itu sulit menggapai hati, dan pikiran itu sulit untuk diungkapkan?", Beliau dengan senang hati menjawab pertanyaan tersebut,"Dalam persoalan filsafat itu ada 2, menjelaskan apa yang kau ketahui? yang kedua memahami apa yang ada di pikiranmu? Semua jawaban itu tidak ada yang memuaskan karena itu bersangkut paut dengan ontologisnya, karena manusia itu bersifat terbatas, manusia itu tidak mampu menuliskan semua pikirannya. Tidak akan mampu memikirkan semua relung hati. Karena itulah manusia itu bisa hidup. Perasaan dan pikiran itu lebih luas daripada laut. Hati itu seluas ciptaan Tuhan jika dikehendaki oleh Tuhan. Kita bisa berempati kepada semua makhluk Tuhan. Itulah keterbatasan manusia. Misal, ketika kita berdoa, pikiran kita harus berhenti. Itulah yang dinamakan ikhlas. Doa yang paling tinggi levelnya adalah dengan menyebut namanya Tuhan. Masalahnya, bermilyar - milyar dirimu menyebut namaNya, belum tentu semuanya dikabulkan. Yah tinggal bagaimana cara kita berusaha, sehingga dalam keadan apapun disarankan untuk menyebut nama Tuhan."

"Filsafat itu luas, maka adakah filsafat untuk orang - orang atheisme?". Beliau menjelaskan,"Saya katakan filsafat itu diri kita masing-masing, diri kita masing-masing itu siapa? diriku dirimu? Karena filsafat itu diriku dirimu, maka mengambil formula bahwa filsafat itu didasari oleh spiritual sehingga tidak melenceng dari spiritualitas masing - masing. Belum tentu mereka punya Tuhan, filsafat itu olah pikir yang refleksif dan menjawab pertanyaan "mengapa". Berfilsafat itu metafisika setelah yang fisik. Contohnya jiwamu, modalmu, karyamu dst. Siapakah sebenar- benarnya saya, diberi waktu yang banyak aku tidak bisa menyebut diri saya. Semakin ke bawah semakin plural, semakin ke atas semakin mono, yaitu kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Semakin ke atas adalah semakin identitas, semakin ke bawah itu kontradiksi. Maka yang kontradiksi para daksa, yang identitas para dewa. Jangan salah paham, ayam itu dewanya cacing, namun cacing tidak bisa melihat kesalahan ayam."

Dalam pendidikan, Sebenar - benarnya guru adalah fasilitator, bukan jamannya lagi menggurui murid - muridnya. Momok dalam siswa saat ini adalah matematika, namun yang sebenarnya momok adalah guru itu sendiri. Dan guru itu sendiri yang banyak memakan ruang dan waktu.

Jadi, kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan di atas adalah kita itu terikat pada ruang dan waktu, dan sesuatu yang bisa dikatakan benar, memang seperti itulah kenyataannya yang sesuai dengan ruang dan waktu itu. Jadilah orang yang bijaksana terhadap ruang dan waktu, agar tidak berkontradiksi dengan subyek maupun material yang lain. Bijak itu tergantung juga terhadap hati dan pikiran, manusia tidak bisa menggapai hati dan pikiran karena manusia itu terbatas, namun ketahuilah karena itu semua manusia bisa hidup. Selain menjadi orang yang bijaksana, tetap dasarilah diri masing - masing dengan spiritual, agar hidup kita lebih berarti dan tidak meleset dari jalan Tuhan.

(By Diana Amirotuz Z/ S2 PMat B/15709251066/Dosen: Prof. Marsigit,MA/ Filsafat Ilmu/ Ruang PPG 1 FMIPA UNY/28 Oktobber 2015/07.30)

Tidak ada komentar: